Makhluk Mulia dengan Tubuh yang Rapuh
1 year ago 575(Oleh
Esther Gunawan, M.Th Konseling)
Melihat tubuh manusia terus berjatuhan seperti daun kering yang gugur di musim kemarau, rasanya ingin sekali bertanya kepada Tuhan, kenapa kok membiarkan tubuh ini begitu rapuh? Dalam waktu hanya setahun ada 123 juta orang lebih di dunia ini terkonfirmasi positif virus Covid-19 dan 2,7 juta orang lebih meninggal. Kondisi ini entah sampai kapan.
Menurut peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, eksistensi virus itu antara makhluk hidup dan mati, beda dengan bakteri yang adalah makhluk hidup. Butuh mikroskop elektron untuk melihatnya.
Berarti virus itu sesuatu yang derajatnya rendah, tetapi punya kekuatan luar biasa untuk melumpuhkan begitu banyak tubuh manusia yang disebut makhluk mulia ini. Rasanya harga diri kita sedang diinjak-injak oleh sesuatu yang bahkan disebut sebagai makhluk hidup saja tidak bisa.
Kadang-kadang saya mau menggugat Tuhan mengenai tubuh manusia, tetapi rasanya kok kurang ajar dan gak tahu diri ya. ”Emang lu siapa, Ther?”
Jika kita disebut sebagai makhluk yang mulia, di mana mulianya jika kita serapuh itu?
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, hidup dengan memakai tubuh ini menjadi lebih sulit. Penderitaan meliputi segala aspek, baik fisik, psikologis, dan juga spiritualitas. Tulisan ini hanya menyinggung aspek fisik.
Kenapa Tuhan tidak menjadikan tubuh manusia seperti Superman atau Wonder Woman? Pada saat planet Krypton akan meledak dan bayi Kal-El harus dilempar ke bumi, Joe Shuster dan Jerry Siegel menciptakannya menjadi Superman ketika terkena sinar matahari kuning. Ia cuma bisa dilemahkan oleh kryptonite (serpihan planet Krypton), radiasi matahari merah dan sihir, atau jika memakai kekuatannya secara berlebihan. Hanya itu.
Sedangkan ketika Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden karena jatuh ke dalam dosa yang disebabkan sesuatu yang kedengaran konyol (cuma makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat), Tuhan membiarkan tubuh mereka menjadi lebih rapuh dan hidup di dalam kutuk. Selain itu, banyak sekali hal-hal yang bisa melemahkan manusia, membuatnya sakit, bahkan hancur lebur. Mulai dari serpihan kayu sangat kecil yang dapat menusuk ke dalam kulitnya yang lembut dan tipis, penyakit, sampai ketiban truk tronton, atau tersapu tsunami, dan lain-lain.
Tentu saja Superman hanya dongeng, sedangkan kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah riil. Tetapi kalau dipikir-pikir, Superman dan segala superhero ciptaan manusia itu adalah impian manusia tentang dirinya. Sehat, kuat, dan tidak mudah sakit. Jadi, kenapa Tuhan membiarkan tubuh manusia begini rapuh?
Ada orang berkata: diberi tubuh rapuh supaya manusia tidak sombong. Ternyata tidak ngefek juga. Banyak orang yang sombong dan merasa tidak butuh Tuhan. Bahkan mengakui Tuhan ada saja pun tidak mau. Heran, ya. ”Emangnya dia tiba-tiba nongol di dunia ini….”
Namun, apakah kita yang mengaku percaya Tuhan menjadi lebih rendah hati dan tidak pernah sombong? Rasanya tidak juga. Mungkin setiap hari kita bergumul dengan ego dan kesombongan kita, termasuk kesombongan rohani. Apakah kita selalu menang?
Sebenarnya bisa saja ’kan Tuhan menjadikan kita seperti malaikat. Tidak pernah kedengaran malaikat sakit fisik atau mengalami gangguan jiwa. Tetapi, memang harus diakui bahwa malaikat ternyata bisa mengalami ”gangguan rohani”, sehingga sepertiga dari mereka harus dilempar ke bumi dan neraka menjadi masa depan mereka karena melawan Allah.
Jadi, suka atau tidak, di dalam kekekalan Dia sudah memutuskan untuk menciptakan kita seperti ini.
Mengingkari kerapuhan tubuh kita adalah sebuah ilusi. Meratapi kerapuhan tubuh kita dapat membuat kita depresi. Pilihan yang ketiga adalah terimalah tubuh kita apa adanya.
Apa bisa?
Waktu melihat di cermin hidung kita pesek, atau kulit wajah mulai muncul keriput, sudah bisa bikin kita resah. Itu sebabnya produk kosmetik atau skincare laku. Jadi, pilihan ketiga itu tidak mudah dilakukan, meskipun merupakan pilihan terbaik.
Anehnya, meskipun tubuh tampak rapuh, ternyata banyak misteri di dalamnya yang belum tersingkap. Ternyata tubuh ini juga punya kekuatan. Bukan kekuatan seperti Superman, melainkan kompleksitas yang membuat kita terpesona dan takjub.
Kompleksitas itu mendorong banyak sekali penelitian tentang tubuh manusia sehingga ilmu pengetahuan berkembang luar biasa. Tercipta juga banyak metode pengobatan dan mesin penyembuh yang canggih (sebagian membuat kita tidak nyaman).
Di dalam tubuh yang rapuh ini terdapat otak, yang berisi ”program maha canggih” sehingga manusia dapat berpikir, merasakan, menganalisis, dan menciptakan sesuatu. Otak, yang menjadi pusat kehidupan kita, merupakan sebuah mega proyek yang tidak akan pernah ada tandingannya. Orang jadi bertanya, siapa Penciptanya? Salah satu bukti bahwa kita memang diciptakan menurut gambar-Nya.
Meskipun merupakan kekuatan, kompleksitas bisa menjadi kelemahan juga. Misalnya, ketika tubuh sakit, belum tentu diketahui apa penyakitnya sehingga tidak tahu bagaimana cara mengobatinya.
Kerapuhan tubuh ini semakin menyadarkan kita betapa kejamnya dosa dan dampaknya yang sangat dahsyat dan menghancurkan. Kerapuhan tubuh juga membawa kita untuk serius menjaga kesehatan dan kebersihan tubuh. Di sisi lain, kompleksitas tubuh mendorong manusia terus belajar memahaminya sehingga ilmu pengetahuan berkembang pesat dan juga dapat membawa kita semakin menyadari kemahakuasaan Allah.
Kerapuhan dan kompleksitas tubuh kita bagaikan dua sisi mata uang yang kita bawa ke mana pun kita pergi. Keduanya ditambah dengan kefanaan memaksa kita dengan kerendahan hati harus mengakui bahwa kita membutuhkan Tuhan, Pencipta itu semua.
Nilai kita sebagai makhluk mulia diberikan oleh Tuhan. Kerapuhan tubuh kita tidak menurunkan nilai itu.
Seorang ibu yang harus diradiasi puluhan kali dan dikemo karena kanker rahim, berkata kepada saya: ”Saya benci tubuh ini,” sambil memukul-mukul perutnya. Ya, kita bisa benci hidup di dalam tubuh yang sakit-sakitan. Waktu saya didiagnosa kanker dan harus dioperasi, saya pun sempat berpikir, ”Sungguhkah ini tubuh saya?” Rasanya saya ingin keluar dari tubuh ini. Sebuah bentuk self-hatred yang tidak saya sadari.
Kiranya Tuhan menguatkan kita supaya kerapuhan tubuh kita tidak membuat kita membencinya dan kemudian meragukan Allah. Sebaliknya juga, supaya kompleksitasnya tidak membuat kita sombong dan kemudian menyangkal Allah.
(Maret, 2021—Tuhan memungkinkan kita dapat berdamai dengan tubuh yang rapuh dan kompleks ini.)
Diambil dari buku KETIKA KITA MERASA KEHILANGAN SEGALANYA (Menggapai Tuhan di Tengah
Penderitaan), diterbitkan oleh Literatur Perkantas, karya Esther Gunawan